Beranda | Artikel
Kembalilah Ke Jalan Rabbmu
Jumat, 24 Juni 2016

Setiap hari kita berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus. Jalan yang lurus ini adalah agama Islam yang telah kita peluk dan yakini bersama. Kita selalu butuh hidayah dari Allah untuk tetap teguh di atasnya dan berjalan di atas rambu-rambunya hingga ajal tiba.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sulit kiranya hidup tanpa hidayah. Ya, bisa orang hidup secara fisik tanpa hidayah. Akan tetapi kehidupan ruhani dengan iman dan amal salih maka hal itu mustahil terwujud kecuali dengan curahan hidayah dari Allah kepada hamba. Sesungguhnya kehidupan ini adalah kesempatan bagi kita untuk meniti jalan hidayah. Jalan yang telah Allah bentangkan dan ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang salih terdahulu.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka…” (at-Taubah : 100)

Para sahabat nabi adalah manusia-manusia terbaik di muka bumi ini setelah para nabi. Mereka telah menunjukkan kejujuran iman dan ketulusan ibadah kepada Allah. Mereka tancapkan tauhid di dalam hati, mereka tegakkan ibadah dengan anggota badan dan mereka buktikan keagungan Islam dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Sebuah kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya dan berjuang membela agama-Nya. Karena itulah tidak ada kejayaan dan kemuliaan kecuali dengan meniti jejak mereka.

Imam Malik rahimahullah pernah mengatakan, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.” Sesuatu yang telah memperbaiki keadaan generasi pertama umat ini adalah Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Islam dan Iman yang mereka wujudkan dalam kehidupan.

Sunnah inilah yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kita pegang-teguh di tengah begitu banyak perselisihan. Sampai-sampai Imam Malik juga mengatakan, “Sunnah adalah perahu Nuh; barangsiapa menaikinya pasti selamat dan barangsiapa yang tertinggal darinya akan tenggelam.”

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, keimanan para sahabat adalah keimanan yang dibangun di atas ilmu dari al-Kitab dan as-Sunnah. Bukan keimanan yang semata-mata mengikuti warisan kebiasaan nenek moyang yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran. Para sahabat beramal dan beribadah dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan perasaan, hawa nafsu dan akal pikiran semata. Oleh sebab itu para ulama kita menegaskan bahwa urusan ibadah adalah masalah yang bersifat tauqifiyah; yaitu menunggu datangnya dalil.

Kita tidak melakukan suatu bentuk ibadah kecuali apabila memang ada dalil dan dasarnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim). Tidak cukup bermodalkan niat baik apabila caranya tidak benar. Niat baik juga harus diwujudkan dengan cara yang benar. Kita tidak mengenal kaidah ‘tujuan menghalalkan segala cara’.

Islam telah lengkap dan sempurna. Tidak ada satu pun kebaikan kecuali telah ditunjukkan olehnya. Dan tidak ada satu pun keburukan kecuali telah diperingatkan. Kebaikan paling agung adalah mentauhidkan Allah sedangkan keburukan paling besar adalah mempersekutukan-Nya dalam hal ibadah. Oleh sebab itu Allah menyandingkan perintah beribadah kepada-Nya dengan larangan dari berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan melakukan amal salih. Sementara amal salih adalah yang terpenuhi di dalamnya dua buah syarat; ikhlas karena Allah dan benar yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhlas merupakan kandungan dari syahadat laa ilaha illallah, sedangkan mengikuti tuntunan atau ittiba’ adalah kandungan dari syahadat anna Muhammadar rasulullah. Kedua syarat ini harus terpenuhi pada setiap amalan.

Hal ini telah diperintahkan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Jalan yang lurus ini adalah jalan yang menggabungkan antara keikhlasan dalam beramal dan mengikuti ajaran nabi dalam melaksanakan amal-amal itu. Orang yang ikhlas dalam beramal dan mengikuti tuntunan nabi itulah yang termasuk golongan orang yang baik amalnya. Allah berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; Siapakah diantara kalian yang paling bagus amalnya.” (al-Mulk : 2)

Beramal salih dan meninggalkan syirik inilah hakikat beribadah kepada Allah yang menjadi hikmah dan tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, jalan yang lurus ini adalah jalan orang-orang yang benar imannya, bukan jalan orang kafir ataupun munafik. Maka betapa meruginya orang yang menjalani kehidupan di alam dunia ini di atas kekafiran dan kemunafikan serta kemusyrikan. Mereka tidak akan meraih kebahagiaan di akhirat dan bahkan tidak bisa merasakan lezatnya kehidupan hati di alam dunia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Malik bin Dinar rahimahullah, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan mereka belum mencicipi sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah yang paling nikmat di dunia ini, wahai Abu Yahya?” maka beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Bahkan Allah pun telah menegaskan di dalam firman-Nya (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada di dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3). Iman dan amal salih inilah bekal kebahagiaan hakiki. Dengan iman dan amal salih inilah seorang hamba akan memetik bahagia di dunia dan di akhiratnya.

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki ataupun perempuan dalam keadaan dia beriman, maka benar-benar Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Kami akan memberikan kepadanya balasan yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)

Adapun orang-orang yang berkubang dengan syirik dan kekafiran maka kesudahan mereka adalah neraka dan penyesalan yang tak berkesudahan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan dia kelak di akhirat pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Ma’idah : 72)

Dengan demikian jalan yang lurus ini adalah jalan orang-orang yang bertauhid, jalan orang-orang yang ikhlas, dan jalan pemegang-teguh Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah jalan Allah yang akan mengantarkan menuju surga dan ampunan-Nya. Meniti jalan ini akan memberikan kebahagiaan hati di dunia dan kenikmatan surga di akhirat. Sampai-sampai dikatakan oleh sebagian ulama, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga. Barangsiapa tidak memasuki surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk surga di akhirat.”

Yang dimaksud surga di dunia itu adalah dengan mengenal Allah, cinta, takut, dan berharap kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Kelezatan iman inilah yang membuat hidupnya menjadi berbahagia. Apabila dia mendapatkan nikmat maka dia pun mensyukurinya. Apabila dia ditimpa musibah dan bencana maka dia pun bersabar menghadapinya. Dan apabila dia berbuat dosa maka dia pun segera beristighfar kepada Rabbnya. Tiga hal inilah tanda kebahagiaan seorang hamba di alam dunia.

Kebahagiaan hati dengan iman, tauhid, dan keikhlasan. Kebahagiaan inilah yang akan bersambung di akhirat dengan kenikmatan surga dan memandang wajah-Nya yang mulia. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89). Abu ‘Utsman an-Naisaburi rahimahullah menafsirkan, bahwa hati yang selamat itu adalah ‘yang bersih dari bid’ah dan merasa tentram dengan Sunnah’. Hati yang selamat itu adalah hati kaum beriman, karena hati kaum munafik itu berpenyakit ‘fii quluubihim maradhun…’.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, maka dari sinilah kita mengetahui betapa besar kebutuhan kita kepada hidayah Allah dan petunjuk nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab dengan mengikuti beliau kita akan selamat dan mendapatkan ampunan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Karena itulah para ulama kita mewasiatkan, “Wajib atasmu untuk mengikuti jalan kebenaran dan janganlah khawatir dengan sedikitnya orang yang berjalan di atasnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa.”

Hanya dengan berpegang-teguh dengan Islam dan mengikuti petunjuk al-Qur’an umat ini akan bisa meraih kejayaan dan kemuliaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memuliakan dengan Kitab ini kaum-kaum dan akan merendahkan dengannya kaum-kaum yang lain.” (HR. Muslim). Kaum yang dimuliakan adalah yang beramal dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, sedangkan kaum yang dihinakan adalah yang meninggalkan keduanya serta lebih memperturutkan kemauan hawa nafsu dan akal pikirannya belaka.

Saudaraku yang dirahmati Allah, jalan Rabbmu telah terbentang di hadapan kita, marilah kita berjalan di atasnya dengan senantiasa memohon hidayah dan taufik dari Allah agar kita bisa berjalan dengan benar di atasnya hingga ajal tiba. Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita ‘Ya Muqallibal quluub, tsabit qalbii ‘ala diinik. Ya Musharrifal quluub, sharrif qalbii ila tha’atik’ yang artinya, “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati tegarkanlah hatiku di atas agama-Mu. Wahai Dzat yang mengatur gerak-gerik hati, palingkanlah hatiku menuju ketaatan kepada-Mu.”


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/kembalilah-ke-jalan-rabbmu/